Sipoet & Boedy


Ada begitu banyak momen emosional sebelum pernikahan. Ada yang sangat menyenangkan, ada yang sangat membuat putus asa. Puncak dan lembah. Sama seperti hidup pada umumnya. Tapi tanpa ragu kukatakan semua itu pantas dilalui. Tentu saja, kupikir aku bisa melalui histeria itu dan mengatur pernikahan tanpa ribut-ribut. Tapi aku gagal. Total. Tapi meskipun gagal bukan berarti aku kalah. Malah, aku menang- aku menikah dengan seseorang yang benar-benar kucintai.

Yang lucu adalah meskipun kamu menghabiskan begitu banyak energi dan kepentingan bagi hari pernikahan kami, hari itu bukanlah hari terbesar dalam hidup kami. Hari terbesar dalam hidupmu adalah setiap hari setelahnya. Karena bukan sumpah setia untuk mencintai seseorang yang penting, tapi tindakan untuk memenuhi sumpah setia itulah yang paling penting.

 

SINOPSIS

Kemarin saya menyelesaikan-membaca novel ChickLit berjudul : Diary of a Mad Bridge, karya Laura Wolf. Ceritanya tentang Amy, seorang wanita karir dengan karir yang cukup tinggi di Round-Up, sebuah Majalah Wanita kota New York. Awalnya dia tidak terlalu memusingkan pernikahan di usianya yang hampir mencapai 30 tahun. Bukannya tidak cantik atau tidak laku (karena dia sendiri memiliki seorang pacar yang dia cintai, Stephen), tetapi karena dia menganggap pernikahan bukan suatu hal penting dalam hidup. Karena toh dia merasa sudah memiliki kebahagiaan dengan adanya pacar yang menyenangkan dan karir yang sesuai bakatnya (walau gajinya hanya biasa saja). Ditambah dia melihat kebanyakan seseorang yang akan menikah (mempelai wanita) umumnya mengalami sindrom kebingungan dan kecemasan tingkat tinggi yang membuatnya tak ingin mengalami hal serupa.

Namun semua berubah saat Stephen, melamarnya di antrean bioskop saat akan membeli tiket. (Suatu hal yang mengejutkan dan tidak romantis bagi Amy). Namun tanpa disadarinya, Amy amat berbahagia dengan lamaran Stephen dan menerimanya. Setelah itu, dia sadar akan konsekuensinya, yaitu harus mempersiapkan pernikahan, mulai dari pemberkatan sampai pesta pernikahannya sendiri.

Dan dia akhirnya benar-benar mengalami kecemasan selama perjalanannya mempersiapkan semua itu...

Mulai dari pemilihan tanggal pernikahan yang diinterupsi jadwal pertandingan NBA (dengan asumsi Stephen bahwa amat sangat tidak menyenangkan menggelar pesta pernikahan saat NBA berlangsung, karena itu menyebabkan undangan akan tidak fokus untuk datang ke pesta karena memikirkan NBA)

Saat budget yang diberikan kedua orang tua mereka sangat terbatas, yaitu masing-masing hanya 5000 dollar, sementara mereka hidup di New York!

Saat calon-calon gedung yang diinginkan Amy memerlukan biaya amat mahal sehingga Amy harus mengadakan pesta pernikahan di belakang halaman rumah orangtuanya.

Saat Amy harus (terpaksa) memakai gaun pernikahan ibunya yang sangat ketinggalan zaman (dan tak sesuai impian Amy), namun dia terpaksa menggunakannya karena tak ingin mengecewakan sang ibu. Apalagi budget untuk gaun tersisa hanya 500 dollar (yang tak mungkin cukup untuk membeli gaun baru, dan hanya cukup untuk me-reparasi gaun lama itu).

Saat Amy harus menerima kenyataan bahwa gaun pengiring wanitanya lebih bagus daripada gaunnya sendiri (sementara setiap wanita menginginkan menjadi wanita tercantik di pesta pernikahannya sendiri)



Saat respon undangan yang telah disebar menunjukkan bahwa 95% tamu akan hadir (dan sementara katering yang dipesan Amy sesuai budget hanya mampu memberi makanan untuk 85% tamu)

Saat neneknya yang ingin-mencari-perhatian sedikit demi sedikit bertingkah aneh dan ekstrim selama proses persiapan

Serta saat Amy harus menerima kenyataan bahwa cincin tunangannya adalah cincin Emerald warisan keluarga Stephen, bukannya cincin berlian yang didambakan wanita seluruh dunia...

Bahkan semua harus tetap dipersiapkan meskipun Amy berada dalam kondisi amat tertekan (selama 5 bulan) sementara Stephen tak bisa membantunya karena kesibukannya mencari proyek kerja untuk tambahan penghasilan.


Di saat semua masalah teratasi, ternyata perjalanan Amy pun tak bisa berjalan mulus.

Di tengah malam menjelang hari H, angin badai terjadi sehingga merobohkan tenda di halaman belakang rumah orangtua Amy dan menumpahkan sebagian katering yang sudah ditata di meja yang menyebabkan Amy pingsan.

Untunglah masalah tersebut teratasi karena seluruh keluarga Amy (selain neneknya) dibantu sahabat-sahabat Amy membantu membereskan dan menyiapkan segala sesuatunya dalam waktu 4jam.

Tapi masalah tak kunjung usai...

Perjalanan Amy ke tempat peresmian pernikahannya dengan Mercedes S-class terbarunya gagal karena mobil yang dipinjamnya mogok, sehingga akhirnya Amy dan pengiring wanita harus menumpang mobil tahun 1987 yang membuat gaun Amy berantakan dan tertumpah coklat.


Namun akhirnya dengan semua cobaan yang diterima Amy, akhirnya Ami dapat menikah dengan Stephen secara resmi. Dan undangan menikmati pestanya.

Bahkan mereka mendapatkan hadiah bulan madu tak terduga dari ayah Stephen!



Setelah hari pernikahannya, Amy sadar suatu hal..

Dia merasa beruntung dengan pernikahannya.


REVIEW

Novel ini cukup menarik buat saya, mengenai kesiapan mental para wanita dalam hal pernikahan. Seringkali pertanyaan besar akan muncul di kepala. Siapkah aku menikah dengannya?
Siapkah aku hidup selamanya dengan dia?
Siapkan aku menjalani sisa hidupku bersamanya?
Siapkah aku memberikan 'hidup'ku (fisik dan mental) padanya?
dan...
Siapkan dia menerima diriku seutuhnya?

Dibanding pria, bagi wanita gambling dalam pernikahan lebih besar karena secara kodrati wanita akan memberikan keseluruhan hidupnya pada satu pria sekali seumur hidupnya. Sehingga seringkali wanita (terutama jaman sekarang, termasuk saya, hehe) begitu rumit untuk memutuskan suatu pernikahan.

Bagi saya mungkin seperti ini.

Pernikahan adalah masalah cinta
Pernikahan adalah masalah perasaan dan hati
Tapi pernikahan juga melibatkan logika
Pernikahan memerlukan pertanggungjawaban
pernikahan memerlukan toleransi
Pernikahan memerlukan pengorbanan
karena pernikahan melibatkan dua orang yang berbeda, yang akan bersatu dalam satu kehidupan, dan satu cita-cita.

Sehingga logika memaksa saya untuk begitu rumit memikirkannya.

Kembali ke novel ini, setelah memutuskan menikah pun, masih ada masalah lagi bagi wanita, yaitu membayangkan tentang persiapan tentang pernikahan, suatu hal yang mungkin amat sakral bagi wanita. Tidak seperti pria yang memikirkan hal pernikahan dengan cukup simple: yang penting halal dan resmi. Nah, masalahnya adalah wanita tak bisa seperti itu.

Wanita umumnya membayangkan berbagai hal menyangkut pernikahan, seperti:

  • mendapat cincin berlian dari sang calon mempelai pria. bukan materialistis sebenarnya, tapi berlian melambangkan batu terkuat dan termulia di antara batu lain, yang sekaligus menunjukkan betapa dihargai dan disanjungnya wanita di mata sang calon suami.
  • mengenakan kebaya putih dan gaun terindah di akad nikan dan pesta pernikahan, karena sudah pasti, wanita ingin dia menjadi makhluk-nomor-satu di pernikahannya
  • menerima hadiah (mahar) dari suami berupa benda yang sangat diinginkan, atau mungkin benda yang menunjukkan betapa dihargainya wanita tersebut sebagai istri (lagi-lagi ini bukan hanya masalah materi)
  • mampu menyelenggarakan pesta pernikahan dengan sempurna. mulai persiapan catering yang terjamin, gedung yang eksotis, dokumentasi yang benar-benar mampu menyimpan semua memori...karena peristiwa tersebut hanya terjadi satu kali seumur hidup dan tak akan terulang lagi
  • hidup dengan finansial berkecukupan dengan sang suami setelah pernikahan


Okelah, dengan kata lain, menikah merupakah hal yang sangat penting karena, di hari itulah wanita amat-sangat-ingin merasa berharga, sehingga dia dapat dengan senang dan ikhlas memberikan seluruh hidup dan pengabdiannya untuk seseorang yang pantas mendapatkannya.

Namun memang realita terkadang bicara berbeda. Tidak semua hal dapat terwujud (walau tidak munafik, saya sendiri menginginkan impian saya terpenuhi). Hal yang paling sulit menurut saya adalah memahami kondisi real yang ada, apakah kita mampu mewujudkan impian kita dan tidak mengorbankan kepentingan orang lain untuk mewujudkan mimpi tersebut. Sementara di sisi lain, kita sebagai wanita menginginkan impian kita seumur hidup dapat tercapai. Karena tadi, pernikahan cuma sekali dan tak akan terulang lagi.

Akhirnya, saya sendiri tidak tahu, apa yang akan terjadi di masa depan saya. Entah saya bisa mewujudkan mimpi saya atau tidak (karena memang saya belum menikah, hehe). Tapi semoga kalaupun impian saya terwujud, hal itu tidak mengganggu kepentingan orang lain.


saya teringat juga pada suatu Quote (entah milik siapa) yang berkata seperti ini, "u cannot marry with someone because u can life forever with him. but u marry someone because u cannot life without him".

Apakah sang soulmate saya bisa hidup tanpa saya di sisinya? karena saya tentunya juga ingin, memberikan hidup saya hanya kepada dia yang memerlukan saya di sisinya dan seseorang yang menjadikan saya tak mampu hidup tanpanya.
 

REVIEW

Novel ini cukup menarik buat saya, mengenai kesiapan mental para wanita dalam hal pernikahan. Seringkali pertanyaan besar akan muncul di kepala. Siapkah aku menikah dengannya?
Siapkah aku hidup selamanya dengan dia?
Siapkan aku menjalani sisa hidupku bersamanya?
Siapkah aku memberikan 'hidup'ku (fisik dan mental) padanya?
dan...
Siapkan dia menerima diriku seutuhnya?

Dibanding pria, bagi wanita gambling dalam pernikahan lebih besar karena secara kodrati wanita akan memberikan keseluruhan hidupnya pada satu pria sekali seumur hidupnya. Sehingga seringkali wanita (terutama jaman sekarang, termasuk saya, hehe) begitu rumit untuk memutuskan suatu pernikahan.

Bagi saya mungkin seperti ini.

Pernikahan adalah masalah cinta
Pernikahan adalah masalah perasaan dan hati
Tapi pernikahan juga melibatkan logika
Pernikahan memerlukan pertanggungjawaban
pernikahan memerlukan toleransi
Pernikahan memerlukan pengorbanan
karena pernikahan melibatkan dua orang yang berbeda, yang akan bersatu dalam satu kehidupan, dan satu cita-cita.

Sehingga logika memaksa saya untuk begitu rumit memikirkannya.

Kembali ke novel ini, setelah memutuskan menikah pun, masih ada masalah lagi bagi wanita, yaitu membayangkan tentang persiapan tentang pernikahan, suatu hal yang mungkin amat sakral bagi wanita. Tidak seperti pria yang memikirkan hal pernikahan dengan cukup simple: yang penting halal dan resmi. Nah, masalahnya adalah wanita tak bisa seperti itu.

Wanita umumnya membayangkan berbagai hal menyangkut pernikahan, seperti:

  • mendapat cincin berlian dari sang calon mempelai pria. bukan materialistis sebenarnya, tapi berlian melambangkan batu terkuat dan termulia di antara batu lain, yang sekaligus menunjukkan betapa dihargai dan disanjungnya wanita di mata sang calon suami.
  • mengenakan kebaya putih dan gaun terindah di akad nikah dan pesta pernikahan, karena sudah pasti, wanita ingin dia menjadi makhluk-nomor-satu di pernikahannya
  • menerima hadiah (mahar) dari suami berupa benda yang sangat diinginkan, atau mungkin benda yang menunjukkan betapa dihargainya wanita tersebut sebagai istri (lagi-lagi ini bukan hanya masalah materi)
  • mampu menyelenggarakan pesta pernikahan dengan sempurna. mulai persiapan catering yang terjamin, gedung yang eksotis, dokumentasi yang benar-benar mampu menyimpan semua memori...karena peristiwa tersebut hanya terjadi satu kali seumur hidup dan tak akan terulang lagi
  • hidup dengan finansial berkecukupan dengan sang suami setelah pernikahan


Okelah, dengan kata lain, menikah merupakah hal yang sangat penting karena, di hari itulah wanita amat-sangat-ingin merasa berharga, sehingga dia dapat dengan senang dan ikhlas memberikan seluruh hidup dan pengabdiannya untuk seseorang yang pantas mendapatkannya.

Namun memang realita terkadang bicara berbeda. Tidak semua hal dapat terwujud (walau tidak munafik, saya sendiri menginginkan impian saya terpenuhi -tapi juga tidak sebegitu amat sih). Hal yang paling sulit menurut saya adalah memahami kondisi real yang ada, apakah kita mampu mewujudkan impian kita dan tidak mengorbankan kepentingan orang lain untuk mewujudkan mimpi tersebut. Sementara di sisi lain, kita sebagai wanita menginginkan impian kita seumur hidup dapat tercapai. Karena tadi, pernikahan cuma sekali dan tak akan terulang lagi.

Akhirnya, saya sendiri tidak tahu, apa yang akan terjadi di masa depan saya. Entah saya bisa mewujudkan mimpi saya atau tidak (karena memang saya belum menikah, hehe). Tapi semoga kalaupun impian saya terwujud, hal itu tidak mengganggu kepentingan orang lain.


saya teringat juga pada suatu Quote (entah milik siapa) yang berkata seperti ini, "u cannot marry with someone because u can life forever with him. but u marry someone because u cannot life without him".

Apakah sang soulmate saya bisa hidup tanpa saya di sisinya? karena saya tentunya juga ingin, memberikan hidup saya hanya kepada dia yang memerlukan saya di sisinya dan seseorang yang menjadikan saya tak mampu hidup tanpanya.

 

This free website was made using Yola.

No HTML skills required. Build your website in minutes.

Go to www.yola.com and sign up today!

Make a free website with Yola