Sipoet & Boedy


 

         Saat ini di televisi sepertinya akan terjadi perlombaan iklan Susu dengan konsep rendah-gula. Mungkin dimulai dengan mulai berkembangnya susu tinggi kalsium yang rendah kalori. Mulai dari brand Anlene, Hi-Lo atau produk pengganti gula dari TropicanaSlim. Konsep iklannya dimulai dari ‘semangat’ produsen untuk menggalakkan susu tinggi kalsium, yaitu Anlene. Dengan promo besar-besaran di setiap kota untuk menggalakkan jalan sehat serta berbagai macam versi iklan untuk meyakinkan konsumen akan pentingnya kalsium dan usaha-usaha pencegahan osteoporosis. Yang cukup saya ingat adalah iklan seorang nenek yang kurang kuat tulangnya sehingga susah untuk menjalankan ibadah sholat, serta iklan sepasang kakek-nenek yang masih sehat tulangnya sehingga kuat berdansa seperti layaknya orang muda.

         Persaingan susu kalsium yang dimulai dari Anlene ini memicu perusahaan lain memproduksi susu kalsium serupa, dengan konsep yang berbeda, yaitu susu Hi-Lo, yang mengusung tema tinggi kalsium (High Calcium) dan rendah lemak (Low Fat). Dan susu jenis ini kini tidak hanya diproyeksikan untuk kalangan tua (dewasa) saja, tapi juga merambah kalangan anak-anak. Iklan yang cukup popular saat ini yaitu saat produk ini berusaha meyakinkan bahwa ‘anak gemuk’ tidak selamanya lucu, karena ‘kalau kecilnya gemuk, besarnya gampang gemuk juga’. Yah mungkin saat ini memang sangat-sangat digalakkan oleh banyak orang untuk usaha membentuk badan proporsional alias dengan diet. Jadi iklan ini sekaligus mengkampanyekan untuk membentuk badan proporsional sejak dini yaitu dengan mengajak konsumen untuk meminum susu rendah gula sejak kecil.

         Sementara itu berselang beberapa minggu saya menemukan iklan lain lagi yaitu susu Dancow, ya produk ini memang salah satu brand yang terbesar dalam dunia produk susu anak. Iklannya adalah dua anak balita yang berbincang-bincang mengenai susu mereka. Kesimpulannya, mereka ingin susu yang mereka minum tidak usah terlalu manis (tak perlu gula) karena susunya sudah cukup manis dan wajah mereka juga sudah manis.


Saya rasa walaupun secara fisik iklan semua produk tersebut berbeda, namun intinya sama, yaitu menggalakkan low fat, alias rendah kalori, alias rendah gula. Dan kemudian saya teringat cerita guru SMP saya (maaf Pak, saya lupa namanya siapa, kalau tidak salah sih namanya pak Parmin). Beliau pernah berkata, “Orang Indonesia itu, terlalu terbiasa untuk membuat segala sesuatunya manis untuk minuman. Padahal semestinya minuman tak perlu semanis itupun perut kita toh tak akan menolak. Malahan bagus kan kalau bisa hemat gula, hemat uang juga. Coba lihat orang Jepang misalnya, minumannya teh hijau, polos tanpa gula. Tapi ternyata baik juga untuk kesehatan. Dan juga tidak ada kan orang yang sakit gara-gara minum minuman tawar. Yang ada malahan orang sakit karena kebanyakan gula.”

Saya tersadar, bahwa memang sedari kecil kita terbiasa dan dibiasakan oleh orang tua kita minum minuman yang manis. Susu diberi gula, minum teh untuk obat, diberi gula juga. Jadi lidah kita terbiasa meminta rasa manis, dan apabila rasanya kurang manis kita jadi menganggapnya tidak enak. Padahal perut kita tidak peduli setting-an masalah rasa manis atau tidak, karena memang rasa manis hanya terdeteksi oleh indera pencecap saja.

Seperti halnya adik saya yang masih duduk di kelas 1 SD. Dulunya dia terbiasa untuk meminum susu yang harus manis, kalau dia merasa susu yang diminumnya tidak manis maka dia akan berteriak-teriak meminta gula tambahan. Padahal semestinya tidak seperti itu kalau sedari kecil dia sudah terbiasa diberi susu yang rasanya sedang-sedang saja (tidak terlalu manis). Tetapi untunglah lama-kelamaan dia bisa mengerti untuk tahu bahwa susu tidak perlu diberi gula berlebihan.

Setelah mendengar ucapan guru saya, maka saya tertarik mencoba untuk menerapkannya di rumah (sejak SMP berarti). Setiap membikin minuman, saya usahakan tidak memakai gula atau memakai gula sedikit saja. Bahkan lama-kelamaan saya iseng mencoba teh hijau yang tanpa gula. Awalnya memang pahit, tetapi lama-kelamaan terbiasa juga. Memang masih pahit, tapi lidah saya sudah tidak terlalu protes seperti dulu awal-awal. Bahkan suatu ketika saya pernah membaca novel, ceritanya tentang seseorang yang tidak suka kopinya diberi gula. Si tokoh ini suka kopi polos, karena katanya “saat kopi masih panas, hirup kopi-mu pelan-pelan, maka akan muncul rasa pahit yang tidak enak. Tapi lama-kelamaan akan terasa rasa kopi yang sesungguhnya, yang akan tetap nikmat. Rasa kopi yang asli.” Saya memang bukan peminum kopi, dan iseng saya mencoba meminum kopi dengan cara ini (walaupun tetap saya beri sedikit gula jagung (setengah sachet saja). Dan saya rasa ucapan tokoh di novel itu benar, bahwa rasa minuman kopi akan tetap terasa nikmat biarpun tanpa gula. Sama seperti rasanya meminum teh hijau tadi.


Jadi intinya mungkin masalah kita terbiasa atau tidak melakukan sesuatu (contohnya memasukkan gula banyak-banyak ke minuman). Mungkin kita perlu sejenak berpikir, perlu tidaknya kita melakukan segala sesuatu. Apakah yang kita lakukan memang ‘perlu untuk dilakukan’, atau memang kita melakukannya karena ‘sudah terbiasa’ saja.

Tetapi bukan berarti penulis tidak suka makan atau minum yang manis yaa… manis kalau memang makanan atau minuman itu semestinya manis ya not a problem-lah. Tapi ingat-lah, jangan terlalu manis yaaa…

 

 


Salah satu renungan gadis yang mencoba diet ^_^


 

 


 

This free website was made using Yola.

No HTML skills required. Build your website in minutes.

Go to www.yola.com and sign up today!

Make a free website with Yola